Yah ada ga enaknya suatu hal pasti adalah
enaknya, itu pasti. Semua yang ada di dunia ini pasti harus seimbang. Hanya di
program ini gw bisa dapet jalan2 gratis (bahkan dibayar) ke luar2 daerah. Yah,
mungkin hal ini yg bilang enak cm gw doang karena pas kebagian di kota2 besar
berbeda dari beberapa temen2 gw yang mendapatkan penempatan di tempat jin buang
anak. Daerah ‘blesek-blesek’ yang harus menempuh setengah hari perjalanan darat
mendaki gunung lewati lembah, kayak ninja Hatori, setelah sebelumnya menempuh
beberapa jam perjalanan udara menuju kota besar terdekat dari kota “antah
berantah” itu.
Beruntung buat gw bisa dapet di jatah jalan2
ke kota besar diantaranya Bogor dan Medan, ya setidaknya di kota2 tersebut gw
ga akan kesulitan mencari hiburan2 di kala suntuk dengan kerjaan (padahal ga
juga kerja, Cuma observasi) atau dengan kebosanan yang timbul. Di Bogor, memang
kebetulan gw ga terlalu asing dengan kota ini karena dulu pas jaman walkman
masih pake kaset pita, gw menghabiskan 4 tahun hidup gw di kota ini untuk menimba
ilmu (sumur kali menimba). Yoi, gw kuliah di Institut Pertanian Bogor a.k.a
IPB, sebuah kampus yang katanya berbasiskan pertanian tapi sangat sedikit
lulusannya yang akhirnya berkarier di bidang pertanian. IPB bukan lagi menjadi
Institut Pertanian Bogor tapi berubah menjadi Institut Perbankan Bogor,
Institut Presenter Bogor (mang ada presenter terkenal dari IPB?? Ngarang aja
sih gw), sampai Institut Presiden Bogor... *no comment. Saking banyaknya
industri (kecuali pertanian itu sendiri) yang bisa dimasuki oleh lulusan2 IPB,
IPB belakangan menjadi Institut Pleksibel Banget. Pleksibel ya bukan fleksibel,
yup karena di Bogor memang mayoritas orang Sunda menjadi kesulitan untuk
melafalkan huruf “f” dengan “p” bahkan orang sunda ga mengenal ada huruf “v” adanya
huruf “phe”. Tapi entah kenapa orang2 Sunda suka ga ngaku klo diledekin masalah
pelafalan “f” dan “p” ini, “itu pitnah”
kata mereka. Oleh karena itu klo lo mau bikin semacam toko atau restoran atau
apalah di daerah Sunda, di pintu masuknya jangan lo bikin tarik tapi dorong dan
pasanglah tanda “push” (yang artinya dorong). Kenapa? Klo lo bikin pintu
masuknya tarik bisa dibilang orang2 Sunda ga akan masuk, karena mereka pikirnya
sudah penuh (tarik = pull, atau penuh klo bahasa Inggrisnya orang Sunda).
Kota ke dua,
Medan, lebih menarik lagi. Lo harus tahan2 emosi klo mau ngomong sama orang2 di
sini. Klo dibikin tulisan, semua perkataan mereka pasti di akhir kalimat selalu
diakhiri sama tanda seru!!! Belum lagi perbedaan makna kata2 yang dipakai
orang2 Medan dengan di kota2 lain. Cuma di medan anak2 SMP bisa mengendarai
kereta, dan Cuma di Medan ada servis jok kereta dan tambal ban kereta di
pinggir2 jalan. Aneh? Kedengerannya memang aneh, tapi klo dilihat sebenarnya
tidak karena di Medan, kereta = sepeda motor. Temen gw yang dari Medan datang
ke Jakarta malah bikin heboh di saat dia mau pergi beli rokok di mini market,
karena malas jalan dia bermaksud pinjam “kereta” dari temannya. Belum reda
keheranan dari orang tersebut, teman gw itu malah bilang dia sudah punya SIM
Kereta sejak dia SMA, dan menjamin orang tersebut klo “kereta” nya hilang dia
akan mengganti dengan “kereta” yang baru, tapi dikredit.
Di Medan juga lo
akan mendapati klo sedang makan di warung makan di saat lo memesan minum “es
teh manis” lo akan dibalik tanya: “dingin atau tidak teh manisnya?”. Apakah
karena saking panasnya cuaca di Medan hingga akhirnya es di Medan tidak
dingin?? Ataukah es di Medan tidak dibuat dari air, tetapi dari air panas??
Ternyata usut punya usut, es teh manis di Medan di sebutnya “manis dingin” atau
biasa di singkat “Mandi”, dan kalau es teh pahit disebut “pait dingin” atau
“padi”. Jadi jangan aneh klo di Medan orang biasa mau Mandi di warung kopi.
Itu mungkin sisi
kenikmatan yang gw dapet di program ini, kenikmatan yang lain?? Apa ya?? Ga ada
kayaknya, maka mari kita kembali bahas ke hal2 menyebalkannya, shall we?? J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar